Rabu, 18 Juni 2025
Kirim Artikel / Video
BerandaNdopokPurwokerto: Kota Kecil Layaknya 'Obat Penenang'

Purwokerto: Kota Kecil Layaknya ‘Obat Penenang’

Oleh: Mukhamad Hamid Samiaji

Ada kota-kota yang lahir untuk dibanggakan. Jakarta dengan gegap gempitanya, Bandung dengan hawa dinginnya, Jogja dengan romantismenya. Tapi Purwokerto? Ia seperti diciptakan untuk hal yang berbeda ; untuk obat penenang.

Buat siapa pun yang lelah dengan kemacetan, dengan notifikasi WhatsApp kerjaan yang tak kunjung henti, atau dengan tagihan listrik yang seolah tahu waktu terburuk untuk datang, Purwokerto bisa jadi pelarian yang paling masuk akal. Di sini, waktu seakan berjalan lebih lambat. Orang-orangnya nggak terburu-buru. Dan kamu bisa tertawa lepas tanpa takut dicurigai atau dihakimi.

Kalau kamu pernah bangun jam lima pagi di Purwokerto, buka jendela dan lihat kabut tipis yang menggantung di udara, kamu akan paham kenapa banyak orang di kota ini susah benar pindah ke kota besar. Udara paginya dingin, tapi bukan yang menggigit. Jalanan masih lengang, hanya terdengar suara motor bapak-bapak ke pasar, dan ibu-ibu menyapu halaman sambil memutar radio. Di kejauhan, Gunung Slamet berdiri tenang. Tak banyak gaya, tak banyak bicara, tapi seolah memberi pesan bahwa hidup tak perlu selalu ribut untuk menjadi bermakna.

Kamu tak butuh restoran mewah untuk bahagia di kota ini. Warung pinggir jalan, wajan besar, minyak panas, dan mendoan yang baru diangkat dari penggorengan—itu sudah cukup. Gurihnya tepung tipis yang masih lemas, dicelup ke kecap rawit yang pedasnya kadang bikin nyesel tapi selalu dimakan lagi. Kamu bisa duduk selonjoran di kursi kayu, ngopi hitam, ngobrol ngalor-ngidul dengan siapa pun yang kebetulan duduk di sebelahmu. Orang-orang di sini murah senyum, bahkan ke orang yang belum tentu mereka kenal.

Di kota-kota besar, jalan kaki berarti menunduk. Wajah-wajah dingin dan terburu-buru. Tapi di Purwokerto, kamu jalan kaki di pasar Wage atau alun-alun, ada saja yang menyapa. Tukang parkir, ibu penjual bunga, atau penjual koran yang menegur dengan ramah, seolah bertanya bukan karena ada maunya, tapi karena memang peduli. Obrolan sederhana, tanpa embel-embel promosi asuransi, tanpa basa-basi palsu. Hanya sesama manusia yang saling menyapa.

Bukan berarti kota ini tanpa luka. Kadang lampu jalan mati, kadang jalan rusak, atau hujan deras bikin listrik padam. Tapi entah kenapa, orang-orangnya jarang mengeluh. Karena mereka tahu, hidup memang tidak selalu mulus. Tapi kalau bisa dijalani bersama, semuanya jadi terasa ringan. Bahagia di Purwokerto bisa sesederhana duduk di warung kopi depan kampus sambil ngeteh dan ngetawain MU yang kalah lagi. Bisa juga cuma naik ke Baturraden, ngelus pundak teman yang lagi patah hati, dan bilang, “Wis, tak traktir mendoan wae.”

Purwokerto bukan soal tempat tinggal. Ia lebih seperti perasaan—tentang tempat di mana kamu merasa aman, tenang, dan diterima. Mungkin sekarang kamu kerja di Jakarta, kuliah di Jogja, atau tinggal di Bali. Tapi setiap dengar kata “Purwokerto”, dada kamu terasa hangat. Karena di sanalah rumah itu berada.

Tempat di mana pagi datang dengan kabut. Di mana tanganmu selalu bisa menemukan mendoan hangat. Dan di mana senyum orang asing terasa seperti sapaan yang paling kamu rindukan.

*) Penulis adalah Warga Cilongok dan Dosen UNU Purwokerto

LAINNYA