Oleh: Lubna Laila
KETIKA seorang Karlina Supeli ditanya, buku apa yang wajib dibaca anak muda? Ia menjawab dengan penuh keyakinan bahwa judul buku tersebut adalah Don Quixote karya Miguel de Cervantes.
Katanya, waktu kecil sebenarnya ada dua tokoh yang membuat dia jatuh cinta. Pertama, Marie Curie. Yang kedua, Don Quixote. Mengherankan bukan? Keduanya adalah dua sisi yang sangat berbeda. Yang satu adalah tokoh fiksi dengan imajinasi liar luar biasa, yang satu lagi seorang ilmuwan pendiam tapi dengan imajinasi yang tak kalah hebat. Tapi kan dia tidak mungkin jadi Don Quixote. Kenapa?
Coba saja baca bukunya. Mungkin kita akan menemukan penafsiran kita sendiri. Don Quixote de la Mancha merupakan novel modern pertama yang mengubah arah sastra dunia. Ia dianggap sebagai salah satu karya terbesar dalam Sastra Barat, dan yang paling agung dalam bahasa Spanyol. Diterbitkan dalam dua volume, yaitu pada tahun 1605 dan 1615.
Novel ini adalah salah satu dari “Buku Terbesar di Dunia Barat” menurut Encyclopedia Britannica. Bahkan pengarang Rusia, Fyodor Dostoyevsky, mengakui bahwa tulisan Cervantes yang satu ini menjadi puncak dan paling luhur dari pemikiran manusia. Jumlah halamannya memang tidak banyak, namun butuh perenungan mendalam untuk memahaminya. Bisa dibaca berkali-kali, dan percayalah, kita selalu menemukan penafsiran baru setiap kali membaca ulang tiap babnya.
Menariknya, Cervantes tidak memberikan jawaban pasti tentang apakah tindakan Don Quixote itu baik atau tidak. Ia menyerahkan semuanya kepada pembaca. Tidak ada kebenaran absolut dalam cerita ini, sehingga kita dibuat mempertanyakan ulang soal hidup. Don Quixote menjadi ‘gila’ karena buku-buku yang ia baca. Pikirannya dipenuhi gagasan liar dari dunia imajinatif yang ia yakini sendiri, sampai ia tak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan.
Bagi orang sekitar, mungkin ia tampak seperti lelaki tua pikun tanpa akal sehat—manusia yang hidup dalam delusi dunia ksatria ciptaannya sendiri. Petualangannya pun tampak kosong dan konyol di mata masyarakat. Tapi saat menyelami kisahnya, kita dihadapkan pada pilihan: melihat Don Quixote sebagai idealis keren yang hidup demi cita-cita dan kebenaran, atau berpihak pada Sancho—pendamping setianya—yang penuh keraguan dan berkali-kali menyuarakan realitas keras yang mereka hadapi.
Sancho sendiri berada di posisi yang rumit—antara lugu, mudah percaya, atau justru denial terhadap keyakinannya sendiri. Setiap karakter dan perkembangannya membuat kita mempertanyakan ulang sistem moralitas yang kita pegang. Dan juga, menjadi pengingat agar lebih berhati-hati dengan buku-buku yang bisa membentuk cara pandang kita.
Meski demikian, saya sepakat dengan pernyataan Karlina Supeli bahwa fiksi itu penting. Fiksi membuka ruang imajinasi, mengajak kita masuk ke dunia yang mungkin, dunia yang tidak ada di sini. Imajinasi yang lahir dari fiksi akan kembali ke dunia nyata dengan kekuatan untuk memahami realitas yang carut-marut.
Setelah membaca Don Quixote hingga tuntas, saya merenung. Selama berabad-abad, kita telah diindoktrinasi oleh guru, tokoh suci, pemimpin, dan buku. Kita cenderung puas dengan deskripsi yang mereka berikan. Tapi apa yang benar-benar orisinal dari kita? Mungkin, banyak isi kepala kita adalah pikiran orang lain. Maka pertanyaannya: apakah kita benar-benar sedang memperjuangkan kebenaran kita sendiri?
*) Penulis adalah Mahasiswa UIN Saizu Purwokerto