Oleh: Mukhamad Hamid Samiaji*
Kalau kamu terbiasa hidup di kota besar, jalan kaki bisa jadi aktivitas yang penuh tekanan. Orang-orang berjalan cepat, wajah serius, dan tak banyak tatapan yang bisa dibalas dengan senyum. Tapi Purwokerto berbeda. Di kota ini, kamu bisa melangkah santai melewati Pasar Wage atau alun-alun, dan tanpa kamu duga, akan ada yang menyapa.
“Badhe teng pundi, mas?”
“Ning omah, bu.”
“Nggih, hati-hati nggih.”
Obrolan sederhana, pendek, dan tanpa embel-embel basa-basi yang memaksa. Di sini, orang-orang masih paham bahwa sapaan itu bukan alat jualan. Mereka masih percaya bahwa menyapa itu cukup untuk menunjukkan perhatian, bukan pintu masuk untuk promosi asuransi.
Meski begitu, Purwokerto bukan kota yang sempurna. Seperti manusia yang punya luka, kota ini juga punya kekurangannya sendiri. Kadang lampu jalan mati tanpa kabar. Jalanan bolong muncul tiba-tiba. Hujan deras bisa bikin listrik padam lebih dari sekali seminggu. Tapi anehnya, jarang terdengar keluhan. Warganya tetap hidup seperti biasa. Mungkin karena mereka sadar: hidup nggak harus selalu mulus, yang penting dilalui bareng-bareng.
Kebahagiaan di kota ini juga tak pernah dibuat rumit. Duduk di warung kopi depan kampus, ngopi sambil ngetawain MU yang kalah lagi. Naik ke Baturraden hanya untuk duduk diam dan menikmati udara segar. Atau cukup mendampingi teman yang patah hati sambil bilang, “Wis, tak traktir mendoan wae.” Sesimpel itu. Tapi hangatnya bisa lebih lama dari ucapan motivasi di seminar manapun.
Bagi banyak orang, Purwokerto bukan tempat tinggal tetap. Bisa jadi hanya tempat singgah saat kuliah, atau kota kecil tempat kamu pulang saat liburan. Tapi entah kenapa, setiap kali namanya disebut, ada rasa hangat yang naik ke dada. Seolah kamu pernah punya bagian hidup di sana yang terlalu sulit dilupakan.
Di kota ini, pagi datang bersama kabut yang tipis. Tanganmu tak pernah kesulitan menemukan mendoan hangat. Dan senyum orang asing justru membuatmu merasa dekat. Purwokerto bukan sekadar kota. Ia adalah rumah, bahkan ketika kamu sudah lama tak tinggal di sana.
*) Penulis adalah warga Cilongok dan Dosen UNU Purwokerto