Kalau Hidupmu Berat, Mungkin Karena Terlalu Peduli Omongan Orang

MENJADI seorang stoic berarti sadar bahwa tidak semua hal dalam hidup ini berada dalam kendali kita. Prinsip utama dalam filosofi stoik adalah membedakan mana yang bisa kita kendalikan dan mana yang tidak. Fokuslah pada hal-hal yang berada dalam lingkup kendali diri, seperti pikiran, sikap, dan respons kita terhadap berbagai situasi kehidupan.

Salah satu hal terpenting dalam hidup adalah bagaimana kita merespons perlakuan atau komentar orang lain. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang, dan memang tidak seharusnya. Setiap individu punya hak untuk memilih siapa yang pantas hadir dan menetap dalam hidupnya, serta siapa yang layak untuk dijauhkan demi menjaga kewarasan, kesehatan mental, dan ketenangan berpikir.

Lingkungan sosial sangat memengaruhi kualitas hidup kita. Sehebat apa pun benih yang kita tanam, jika ladangnya tidak subur, tanaman pun akan kesulitan tumbuh. Begitu pula dalam hidup—dukungan dan ekosistem yang sehat jauh lebih penting daripada sekadar ambisi pribadi. Jika hidup ini adalah ladang panen, maka setiap buah memiliki musimnya masing-masing untuk dipetik. Tidak adil jika kita memaksa semua orang untuk matang di waktu yang sama.

Perumpamaan sederhana bisa menggambarkan hal ini: jangan tanyakan kepada buah durian kapan ia bisa dipanjat, karena ia tidak diciptakan untuk itu. Jangan tanyakan kepada kencur kapan ia tumbuh tinggi, karena memang bukan itu fungsinya. Dunia menjadi membosankan jika semua hasil ukur dipukul rata tanpa menghargai keunikan proses setiap makhluk.

Seperti kata Emha Ainun Nadjib, jika kamu hidup sebagai semut, maka hiduplah seperti semut. Jika kamu menjadi sapi, jalani peranmu sebagai sapi. Tidak adil menilai monyet dari cara ia berenang, atau menilai lumba-lumba dari cara ia terbang. Setiap makhluk memiliki kelebihan dan cara kerja masing-masing, dan semua itu layak dihargai.

Sikap stoic juga mencakup kesadaran untuk tidak melontarkan pertanyaan yang tidak sensitif atau menyakitkan. Misalnya, menanyakan kepada orang yang sedang kesulitan ekonomi kapan ia akan berangkat haji, atau kepada tetangga kos yang sedang berhemat kapan ia akan makan wagyu A5. Atau yang lebih umum—menanyakan kepada pasangan yang tengah menjalani program hamil, “kapan punya anak?” Padahal itu adalah urusan yang sangat personal dan sensitif.

Pertanyaan semacam itu sering kali tidak membantu dan justru menambah beban psikologis. Sama halnya saat kita bertemu mahasiswa semester akhir, alih-alih bertanya, “kapan lulus?”—akan lebih baik jika kita menawarkan dukungan atau sekadar menjadi pendengar. Karena siapa tahu, pertemuan dengan kita adalah sisa tenaga terakhir yang ia miliki untuk tetap bertahan.

Menghidupi nilai-nilai stoik adalah soal mengelola ekspektasi, menjaga empati, dan memahami bahwa setiap orang sedang berjuang dalam jalan hidupnya masing-masing. Kita tidak harus ikut campur dalam setiap urusan, cukup tahu batas, dan hadir sebagai manusia yang lebih bijaksana.

Penulis : 
Lubna Laila, Mahasiswa Komunikasi
UIN Saizu Purwokerto

Artikel terkait

Fenomena Gugatan Cerai Pasca Pelantikan PPPK/ASN (Menimbang Fiqih Munakahat dan Etika ASN)

Santri Wajib Tahu Rahasia Ini… Tips Jadi Santri ‘Agen Perubahan’

Perjalanan Yogyakarta – Purwokerto Berapa Jam? Transportasi Paling Oke Apa?