Slow living menjadi istilah yang ngetren saat ini, bahkan –mungkin– telah menjadi bagian gaya hidup yang berjalan dalam keseharian. Saat teknologi bergerak cepat, begitupun segala sesuatu yang dituntut serba buru-buru, karena waktu, jadwal, kepadatan dan segala macam beban-beban kehidupan, slow living seolah-olah adalah jawaban dan solusi kehidupan.
Mungkin bisa membayangkan, para pekerja yang mesti bangun pagi buta, menyiapkan keperluan rumah sekaligus keperluan diri pribadi, lalu ngebut untuk sampai di kantor sesuai jadwal, karena takut kejebak kemacetan. Berangkat pagi, pulang malam, dengan setumpuk tarjet, tuntutan dan tekanan.
Kehidupan dipaksa berlari dengan kencang, otot dipaksa bergerak cepat, otak dipaksa berpikir dengan kilat, perkara tersebut menuntut pola kehidupan yang menegangkan sekaligus melelahkan. Memang, ini adalah problem kehidupan sekarang.
Lalu, apa slow living itu? Apakah menjalani pola hidup yang santai, bahkan super santai? Menjalani ritme kehidupan dengan lambat, bahkan super lambat? Apa memang demikian slow living itu? Sebab, bila diterjemah, slow living berarti hidup lambat.
Tentunya, terjemah slow living akan mendorong gaya kehidupan pada terjemahan teks tersebut. Akan tetapi, makna slow living bukan menjalani kehidupan dengan cara lambat. Bukan demikian. Juga bukan menjalani kehidupan dengan cara santai, ngglandang-nggludung.
Tren hidup slow living sekarang ini, perlu dijalani dengan apa adanya, fokus pada hal kecil dan mungkin remeh-temeh, hingga selaras dengan istilah biar lambat asal selamat atau alon-alon waton kelakon. Menjalani hidup dengan tren slow living, tidak alergi menjalani peran-peran receh, menerima kenyataan tanpa menuntut berlebihan.
Slow living tidak memaksanakan diri untuk bergerak cepat-cepat, buru-buru, grasa-grusu, kesasa-kesusu. Slow living justru menjalani gaya kehidupan yang menekankan pada hasil yang berkualitas. Slow living sekaligus memberi ruang bagi tiap diri individu untuk menikmati setiap momentum dalam kehidupan agar lebih bermakna dan berkelas dengan ikhtiar yang totalitas.
Tapi, arti dan tafsir interpretasi slow living, kembali kepada masing-masing diri.