FENOMENA mengejutkan muncul di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Aceh, di mana sejumlah guru perempuan yang baru saja diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) ramai-ramai mengajukan gugatan cerai kepada suami mereka selepas menerima SK pengangkatan. Fenomena ini dipercayai terkait dengan perubahan status sosial dan harapan finansial yang mengiringi jabatan baru mereka (X (formerly Twitter)).
Data menunjukkan bahwa mayoritas penggugat cerai adalah guru wanita, yaitu sekitar 75 persen dari total dalam enam bulan terakhir. Sebanyak 20 orang dilaporkan telah mengajukan izin perceraian, dan hanya sekitar 10 persen dari suami mereka memiliki status ASN. Sisanya bergantung pada pekerjaan informal seperti ojek, pekerjaan serabutan, atau usaha online (https://www.metrotvnews.com).
Tingginya proporsi perceraian ini mencerminkan ketimpangan ekonomi dalam keluarga. Guru PPPK kini memiliki penghasilan tetap, sedangkan suami yang bekerja di sektor informal kesulitan memenuhi ekspektasi kehidupan yang lebih stabil. Fenomena ini memberi sinyal bahwa peran ganda dan standar hidup yang berubah dapat memicu ketegangan rumah tangga.
Meski demikian, guru ASN perlu menjalani prosedur hukum yang ketat. Cerai tanpa izin dari atasan administratif, seperti kepala daerah atau instansi terkait, berpotensi berdampak pada sanksi disipliner. Salah satu kasus di Blitar menjadi contoh: seorang guru SD diganjar pemotongan gaji 50 persen selama satu tahun karena menceraikan suaminya tanpa persetujuan resmi (https://www.metrotvnews.com).
Fenomena ini membuka diskusi soal pentingnya pendampingan sosial dan psikologis bagi guru PPPK, terutama perempuan yang mengalami perubahan signifikan status dan harapan pascakenaikan jabatan. Di sisi lain, instansi terkait mesti mempertimbangkan pendekatan preventif dalam manajemen pegawai baru yang mengalami perubahan besar dalam kehidupan pribadi.
Dengan eskalasi kasus perceraian yang meningkat di kalangan guru PPPK, fenomena ini menjadi catatan penting bagi kebijakan kepegawaian dan kebijakan keluarga di Indonesia. Diharapkan adanya sinergi antara lembaga pendidikan, agama, dan sosial agar dampak perubahan status tidak memicu keretakan keluarga.