Halo, Sobat Betah! Kali ini kita akan mengulik salah satu cerita sejarah yang penuh dengan nuansa mistis dan filosofis, yaitu asal usul Gumelem. Kisah ini berawal dari dua sosok kakak beradik, Ki Pamanahan dan Ki Ageng Giring, yang merupakan anak dari Ki Ageng Sela. Yuk, simak cerita lengkapnya!
Ki Ageng Giring dan Wahyu Gagak Emprit
Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pamanahan adalah dua sosok yang dihormati di Desa Sodo (sekarang Desa Paliyan, Gunung Kidul). Mereka dikenal sebagai petani yang tekun dan taat menjalankan syariat Islam. Keduanya juga sering bermeditasi, sehingga memiliki kewibawaan yang tinggi di mata masyarakat.
Suatu hari, di abad ke-14, Ki Ageng Giring yang merupakan santri Sunan Kalijaga mendapatkan wahyu yang dikenal sebagai Wahyu Gagak Emprit. Wahyu ini menyatakan bahwa ada sebuah pohon kelapa yang hanya memiliki satu buah kelapa muda (dawegan kendit). Barang siapa meminum airnya sekali habis, keturunannya akan menjadi raja-raja di tanah Jawa.
Ki Ageng Giring pun mencari pohon kelapa tersebut dan akhirnya menemukannya (dawegan kendit). Namun, karena belum merasa haus, ia menyimpan kelapa muda itu di atas para (rak penyimpanan) sambil melanjutkan pekerjaannya di ladang.
Ki Ageng Pamanahan dan Air Kelapa Muda / Dawegan Kendit
Tak disangka, adiknya, Ki Ageng Pamanahan, datang berkunjung ke rumah Ki Ageng Giring. Melihat kelapa muda yang masih segar, Ki Ageng Pamanahan langsung meminumnya hingga habis. Istri Ki Ageng Giring, yang melihat kejadian itu, segera melaporkannya kepada suaminya.
Ki Ageng Giring pun bergegas masuk, namun sudah terlambat. Dengan lapang dada, ia berkata, “Sudah menjadi keberuntungan Ki Ageng Pamanahan dan keturunannya.” Ia pun meminta agar kelak, jika wahyu itu benar-benar terwujud, keturunannya yang ketujuh diberi kesempatan menjadi raja Mataram.
Keturunan Ki Ageng Pamanahan Menjadi Raja Mataram
Pada suatu ketika Raden Sutawijaya pergi berburu ke Dukuh Giring, disitu Raden Sutawijaya bertemu dan jatuh cinta dengan Dewi Nawangsasi yang merupakan anak dari Ki Ageng Giring. Sebagai seorang raja, apapun keinginannya harus dipenuhi termasuk keinginannya untuk menjadikan Dewi Nawangsasi sebagai istrinya.
Setelah menjadi istri Raden Sutawijaya akhirnya Dewi Nawangsasi pun mengandung, pada saat Dewi Nawangsasi mengandung, Danang Sutawijaya kembali ke keraton Mataram untuk kembali memimpin kerajaan Mataram.
Sedangkan Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi yang memiliki jiwa pengembara, melakukan pengembaraan ke arah barat melalui pegunungan, hingga Dewi Nawangsasi melahirkan seorang putra yang diberi nama Jaka Umbaran.
Tidak terasa Jaka Umbaran semakin tumbuh dewasa hingga Jaka Umbaran berumur 12 tahun, kedewasaan Jaka Umbaran semakin tampak ketika dia ingin menjadi prajurit Mataram dan sering menanyakan keberadaan ayahandanya.
Merasa anaknya sudah cukup dewasa, akhirnya Nawangsasi menjawab dan menjelaskan bahwa ayah dari Jaka Umbaran adalah seorang yang paling luhur kedudukannya di Mataram dan berjuluk Sena.
Pergilah Jaka Umbaran ke Keraton Mataram untuk mengabdikan dirinya menjadi seorang prajurit dan mencari ayahandanya. Di Mataram Jaka Umbaran sangat senang, karena bisa diterima menjadi prajurit Keraton Mataram.
Pada akhirnya Jaka Umbaran membuka jati dirinya dan ibundanya yaitu Dewi Nawangsasi yang merupakan istri dari Raden Sutawijaya raja Mataram. Setelah mendengar cerita itu, Raja Mataram akhirnya mengakui bahwa Jaka Umbaran adalah anaknya.
Suatu hari Jaka Umbaran diberi tugas oleh Raden Sutawijaya untuk menghantarkan sebilah keris pada Ki Ageng Giring, supaya Ki Ageng Giring membuatkan warangka keris tersebut dari kayu Purwosari.
Dengan keluguan dan kepolosan Jaka Umbaran yang masih muda tersebut, berangkatlah Jaka Umbaran ke tempat Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi yang saat itu berada di Padukuhan Salamerta. Sesampainya di Salamerta, Jaka Umbaran menyampaikan perintah Raden Sutawijaya untuk membuatkan warangka keris dari kayu Purwosari.
Makna Purwasari dan Pengembaraan Ki Ageng Giring
Mendengar apa yang diperintahkan Raja Mataram, Ki Ageng Giring terkejut kemudian menjelaskan pada Jaka Umbaran makna dari Purwasari yang ada pada perintah tersebut.
Ki Ageng Giring menerangkan bahwa makna dari Purwa adalah Kawitan yang dimaksudkan adalah Ki Ageng Giring dan Sari adalah Rasa yang dimaksudkan adalah Dewi Nawangsasi, jadi Purwasari bermakna Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi.
Sehingga arti dari tugas membuatkan warangka keris dari kayu Purwasari adalah agar keris itu digunakan untuk membunuh/melenyapkan Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi.
Ki Ageng Giring kemudian memberikan pengertian serta nasehat pada Jaka Umbaran yang merupakan cucunya sendiri, untuk tetap mengabdi ke Keraton Mataram dan akhirnya kembalilah Jaka Umbaran ke Mataram.
Mengenai tugas yang diperintahkan Raja Mataram pada Jaka Umbaran, Ki Ageng Giring menyuruh Jaka Umbaran agar bilang pada Raja Mataram, bahwa dia tidak bertemu dengan kakek dan ibunya karena telah pergi mengembara.
Dari padukuhan Salamerta ini Ki Ageng Giring dengan para pengikutnya melanjutkan pengembaraan ke arah utara, pada pengembaraan itu Ki Ageng Giring tanpa ditemani Dewi Nawangsasi, karena penduduk Salamerta meminta agar Dewi Nawangsasi menetap tinggal disana untuk mengajarkan ilmu agama.
Menyeberangi sungai Serayu sampailah Ki Ageng Giring di Sabrang Lor tempat adiknya yang bernama Ki Ageng Pamanahan tinggal tepatnya di desa Buaran.
Disini juga Ki Ageng Giring bertemu gurunya yaitu Sunan Kali Jaga, di daerah ini Ki Ageng Giring dan Sunan Kali Jaga menyebarkan syiar islam.
Saat di desa Buaran Ki Ageng Giring mulai sakit-sakitan, meskipun demikian beliau masih tetap ingin melakukan pengembaraannya ke arah barat, sedangkan Sunan Kali Jaga ke arah timur menyusuri pantai utara hingga menuju Demak.
Di suatu tempat persinggahan Ki Ageng Giring terus menurun kesehatannya, para pengikut Ki Ageng Giring membuatkannya tandu serta melarang Ki Ageng Giring untuk berjalan, maka daerah itu diberi nama Larangan.
Selanjutnya di tempat persinggahan berikutnya Ki Ageng Giring penglihatannya sudah tidak jelas lagi (kurang awas) maka daerah tersebut diberi nama Karang Lewas.
Karena sakit-sakitan dalam perjalanannya Ki Ageng Giring ditandu oleh para pengikutnya, singgahlah Ki Ageng Giring disuatu tempat yang kemudian tempat tersebut dinamakan Ketandan.
Dekat dengan daerah Ketandan, Ki Ageng Giring melakukan sesuci di sebuah sumur yang bernama sumur Beji, disitu Ki Ageng Giring merasa gumun/kagum melihat buah Delem, sebab itulah wilayah tersebut dan sekitarnya dinamakan Gumelem (Versi pertama asal mula nama Gumelem).
Dari sumur Beji, Ki Ageng Giring beserta rombongannya melanjutkan perjalanan ke arah timur, menyeberangi sungai yang airnya cukup deras hingga banyak pengikutnya yang hampir kemelem/tenggelam, dinamailah wilayah tersebut dengan nama Gumelem (Versi kedua asal mula nama Gumelem).
Merasa kondisi kesehatannya semakin menurun karena usia semakin sepuh / lanjut usia, Ki Ageng Giring pun menitipkan pesan atau berwasiat kepada para pengikutnya.
Akhir Hayat Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi
Ki Ageng Giring akhirnya wafat pada tahun 1584 M. Jenazahnya disucikan di Sumur Beji dan dibawa ke Salamerta sesuai wasiatnya. Namun, dalam perjalanan, tandu yang membawa jenazahnya terasa semakin berat dan akhirnya amblas di sebuah bukit. Jenazah Ki Ageng Giring pun menghilang, hanya tersisa kain kafannya. Tempat itu kemudian dinamakan Bukit Girilangan (Ki Ageng Giring ilang).
Sementara itu, Dewi Nawangsasi yang sedang bermeditasi di dekat Kali Sapi desa Salamerta juga menghilang secara misterius dan meninggalkan Kotak kinang (bogem) yang selalu dibawanya. Kotak kinang tersebut akhirnya dikubur di tempat itu, sehingga daerah tersebut dinamakan Bogem di wilayah desa Salamerta, Banjarnegara.
Warisan Ki Ageng Giring dan Gumelem
Kisah Ki Ageng Giring dan Gumelem tidak hanya sekadar legenda, tetapi juga mengandung nilai-nilai filosofis dan spiritual yang dalam. Gumelem kini menjadi tempat yang sarat dengan sejarah dan mistis, terutama bagi mereka yang ingin berziarah ke Bukit Girilangan.
sumber: gumelem.com; Jeri (Juru Kunci Makam Ki Ageng Giring & Ki Ageng Gumelem)