Hai, Sobat Betah! Pernah dengar nama KH Abu Dardiri? Beliau adalah salah satu tokoh yang berperan besar dalam pembentukan Kementerian Agama di Indonesia. Yuk, simak kisah inspiratif ulama, pejuang, dan pengusaha tangguh ini!
Pengusung Ide Pembentukan Kementerian Agama
Pada November 1945, Indonesia masih dalam fase membangun struktur pemerintahan pascakemerdekaan. KH Abu Dardiri, sebagai anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) Banyumas, bersama dua rekannya H Moh Saleh Suaidy dan M Sukoso Wirjosaputro diberi mandat untuk menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jakarta. Dalam sidang tersebut, mereka mengusulkan pembentukan kementerian khusus yang menangani urusan agama.
Usulan ini didukung oleh sejumlah tokoh Masyumi di KNIP, seperti Moh. Natsir, Dr Mawardi, dan Kartosudarmo. Hasilnya, Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengumumkan pembentukan 16 Kementerian pada 14 November 1945, termasuk Kementerian Negara Urusan Agama yang dipimpin oleh HM Rasjidi, tokoh Masyumi dan Muhammadiyah. Pada 3 Januari 1946, kementerian ini resmi berganti nama menjadi Kementerian Agama, dengan HM Rasjidi sebagai menteri pertama.
Kisah Hidup: Dari PHK hingga Pengusaha Sukses
Lahir di Gombong, Kebumen (24 Agustus 1895), perjalanan hidup Abu Dardiri penuh liku. Ia pernah bekerja sebagai pegawai kereta api dan pabrik gula, tetapi suatu ketika di-PHK. Saat itu, istrinya sedang sakit berat. Untuk biaya pulang ke kampung halaman, ia bahkan harus menjual jasnya.
Namun, di balik kesulitan, datanglah keberuntungan. Dalam perjalanan ke Gombong, ia bertemu teman lama yang menawarkannya pekerjaan di Pabrik Gula Solo. Dari sini, Dardiri mulai merintis bisnis sampingan menjual alat ikat tebu. Bisnis ini sukses membawanya naik haji dan menyembuhkan sang istri. Di tahun 1940-an, ia mendirikan percetakan steendrukkerij (percetakan batu) di Purwokerto yang mampu memproduksi 500 lembar kertas per hari. Bisnis ini tetap bertahan bahkan di masa penjajahan Jepang!
Aktif di Muhammadiyah & Peran Strategis di Masa Jepang
Abu Dardiri adalah sosok yang aktif di Muhammadiyah sejak muda. Di usia 25 tahun, ia sudah menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Purbalingga. Pada 1940, ia terpilih sebagai Konsul Muhammadiyah Banyumas, yang membuatnya pindah ke Purwokerto.
Kiprahnya di Muhammadiyah menarik perhatian pemerintah Jepang, sehingga ia diangkat sebagai Syumokatyo (Kepala Jawatan Agama) Banyumas. Di posisi ini, ia berhasil mengusulkan agar Sekolah Rakyat (SR) memiliki guru dan mata pelajaran agama—sebuah kebijakan yang menjadi fondasi pendidikan agama di Indonesia.
Kontribusi untuk Kemerdekaan & Warisan Fisik
Setelah Indonesia merdeka, Dardiri diangkat sebagai Ketua Partai Masyumi Purwokerto dan anggota KNI Banyumas. Dari sinilah ia berkesempatan mengusulkan pembentukan Kementerian Agama.
Selain itu, ia juga aktif membangun sarana ibadah dan pendidikan. Beberapa warisannya yang masih bertahan hingga kini antara lain:
- Masjid Desa Jompo Sokaraja
- Mushala di Gombong
- Asrama Pesantren Modern Purwokerto
- Madrasah Tanjungsari
- Dua masjid di Gombong dan Desa Buayan Kuwarasan
- Gedung Balai Aisyiyah Kauman Purwokerto
Ia bahkan menyumbangkan tanah untuk Aisyiyah Gombong, menunjukkan komitmennya dalam memajukan umat.
Akhir Hayat & Teladan yang Abadi
KH Abu Dardiri wafat pada 1 Agustus 1967 di Purwokerto dalam usia 72 tahun. Meski telah tiada, dedikasinya dalam membangun agama, pendidikan, dan ekonomi umat tetap dikenang.
Fakta Menarik: Bisnis percetakannya di Purwokerto termasuk salah satu yang bertahan di masa penjajahan Jepang. Dari usaha inilah ia mendanai aktivitas dakwah dan sosial!
Kisah KH Abu Dardiri mengajarkan bahwa ketekunan, kerja keras, dan keikhlasan bisa melahirkan kontribusi besar bagi bangsa. Dari seorang pegawai biasa hingga pengusaha sukses, hidupnya menjadi bukti bahwa setiap langkah tulus pasti meninggalkan jejak yang berarti.