Pelaksanaan awal puasa Ramadhan 1446 Hijriah diprediksi akan dimulai secara serentak oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Wakil Dekan I Fakultas Dakwah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Dr. Ahmad Muttaqin, menjelaskan bahwa metode rukyatul hilal kemungkinan akan menghasilkan kesimpulan yang sama dengan hisab (wujudul hilal).
Namun, ada beberapa kelompok Islam di Jawa yang menetapkan awal Ramadhan berbeda. Salah satunya adalah kelompok Muslim Aboge, yang menggunakan sistem kalender sendiri.
Mereka menentukan awal puasa berdasarkan rumus perhitungan turun-temurun yang berbeda dari metode yang umum digunakan. Pada tahun ini, mereka menetapkan awal Ramadhan jatuh pada Ahad Pon, bertepatan dengan 2 Maret 2025.
Sistem Kalender Aboge dan Penentuan Ramadhan
Dr Ahmad Muttaqin menjelaskan, Kelompok Muslim Aboge menggunakan sistem kalender dengan siklus delapan tahunan yang berulang secara konstan. Penetapan awal bulan didasarkan pada rumus baku yang berlaku hingga 120 tahun.
Dengan metode ini, mereka dapat menentukan hari-hari penting seperti awal Ramadhan secara akurat dalam rentang waktu yang panjang.
Pada tahun 1446 H atau 2025 M, kalender Jawa menunjukkan tahun Za/Je dengan rumus perhitungan Zasahing. Rumus ini menentukan bahwa 1 Muharram jatuh pada Selasa Pahing.
Sementara itu, awal Ramadhan dihitung menggunakan rumus Sanemro, yaitu hari keenam dengan pasaran kedua, yang menghasilkan tanggal 2 Maret 2025 sebagai hari pertama puasa. Idul Fitri kemudian ditentukan dengan rumus Waljiro, sehingga jatuh pada Selasa Pon, 1 April 2025.
Integrasi Kalender Jawa dan Islam
Keberadaan kalender Aboge mencerminkan bagaimana Islam beradaptasi dengan budaya lokal. Islam di Jawa tidak datang secara frontal, tetapi melalui pendekatan kultural yang mengakomodasi tradisi setempat.
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Jawa telah menggunakan kalender Saka yang berakar dari budaya Hindu-Buddha. Salah satu bentuk integrasi yang monumental adalah penyatuan kalender Jawa dengan Hijriah oleh Sultan Agung.
Langkah ini tidak hanya mempertahankan identitas budaya Jawa, tetapi juga memperkaya tradisi Islam di Nusantara. Berbagai perayaan keagamaan seperti Sekaten, Grebeg Sura, dan Grebeg Maulud menjadi bukti nyata dari perpaduan ini.
Agama dan Budaya: Sebuah Harmoni
Fenomena ini menunjukkan bahwa agama dan budaya bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Sebaliknya, keduanya dapat saling melengkapi dan memperkaya kehidupan masyarakat.
Islam sebagai ajaran universal tetap terjaga kemurniannya, sementara ekspresi budaya memberikan ruang bagi umat untuk menghayati nilai-nilai agama dalam keseharian mereka.
Dengan komunikasi dan interaksi yang berkelanjutan, Islam di Nusantara berkembang dalam harmoni dengan budaya setempat, menciptakan identitas keislaman yang khas dan berakar kuat dalam masyarakat.
UIN Saizu Maju, UIN Saizu Unggul!!!