Purwokerto. Kota kecil yang sering disebut tenang, ramah, dan adem. Tapi, benarkah hanya itu? Di balik pesona curug dan suasana santai, terselip realitas sosial yang jarang dibicarakan. Berikut enam sisi gelap yang mungkin luput dari sorotanmu…
Kota ini seperti jeda di antara dua dunia. Tidak seramai ibu kota, tak seartistik kota budaya, tapi punya daya tarik tersendiri. Seperti yang pernah dikatakan komika Pandji Pragiwaksono: Purwokerto itu damai. Dan banyak yang sepakat. Di kota ini, suara gemericik air curug, hembusan angin desa, dan keramahan warga menyatu dalam keseharian.
Tak hanya soal suasana, Purwokerto juga dikenal sebagai kota pelajar. Kampus ada, pesantren ada, rumah ibadah dari berbagai keyakinan pun hidup berdampingan. Bahkan kota ini pernah punya catatan emas: tempat berdirinya bank pertama di Indonesia dan pabrik roti pertama di tanah air. Tapi seiring waktu, sisi lain pun mulai muncul ke permukaan.
1. Prostitusi Digital Lewat “Aplikasi Hijau”
Penutupan tempat prostitusi seperti di Gang Sadar (Baturraden) dan Karanglewas tak serta-merta mengakhiri praktiknya. Kini, dunia digital jadi tempat baru: cukup ponsel dan akun di aplikasi “hijau” (sebutan untuk aplikasi daring tertentu), praktik itu berpindah wujud jadi lebih tersembunyi dan sulit dilacak.
Meski belum ada data konkret, meningkatnya konektivitas dan gaya hidup urban di Purwokerto membuka celah besar. Dan celah itu kian melebar di tengah lemahnya pengawasan dan tabunya pembahasan soal ini.
2. Clubbing dan Karaoke: Hiburan atau Jerat?
Tempat hiburan malam seperti karaoke dan club makin mudah ditemui, bahkan tak jauh dari pusat kota. Bagi sebagian orang, ini bentuk relaksasi. Tapi buat sebagian lain, ini bisa jadi pintu awal keterjerumusan.
Banyak anak muda datang hanya karena rasa ingin tahu, tapi akhirnya ketagihan dan sulit lepas. Batas antara hiburan dan jebakan makin tipis saat kontrol diri memudar.
3. Badut Lampu Merah dan Proposal “Misterius”
Pengamen, badut, bahkan pengemis dengan proposal pembangunan masjid kerap muncul di sudut-sudut kota. Meski sebagian tulus, ada juga yang patut dipertanyakan. Seperti pengalaman saat ingin memotret proposal sebagai bukti donasi, tapi justru ditolak mentah-mentah.
Jangan salah paham—bukan soal nominal. Tapi saat kebaikan ditumpangi kebohongan, kita wajib bertanya: benarkah ini sedekah, atau modus?
4. Geng Remaja Bikin Resah
Media sosial kerap memuat video sekelompok remaja bikin onar: keluyuran tengah malam, adu fisik, bahkan membuat keributan tanpa alasan jelas. Kota yang dikenal santun ini tercoreng karena aksi mencari validasi dengan cara brutal.
Kalau mau dikenal, banyak cara lebih bermakna: karya, kontribusi, atau aksi sosial. Tapi kenapa harus lewat kerusuhan?
5. Kemiskinan yang Masih Tinggi
Menurut BPS (per November 2024), 11,95% penduduk Banyumas hidup di garis kemiskinan. Itu setara lebih dari 207 ribu jiwa. Rendahnya UMK ditambah minimnya semangat belajar sebagian kalangan membuat mereka tertinggal, bahkan pasrah.
Mindset ini berbahaya jika diwariskan terus-menerus. Apalagi jika ketertinggalan dianggap takdir, bukan tantangan untuk diatasi.
6. Tenang Bukan Berarti Tak Ada Masalah
Purwokerto memang damai. Tapi damai bukan berarti steril dari persoalan. Mulai dari digitalisasi prostitusi, hiburan malam, praktik pengemis terselubung, hingga kenakalan remaja dan kemiskinan—semuanya nyata, meski tak selalu tampak.
Bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengingatkan. Kota ini tetap layak ditinggali, bahkan diwariskan. Tapi syaratnya satu: kita mau jujur melihat luka-luka kecil yang perlu segera disembuhkan bersama. Kalau kamu punya cerita apa tentang Purwokerto?
Penulis :
Fajar Pujianto
RT 01 RW 02, Desa Kracak, Kecamatan Ajibarang, Banyumas